Home » , , » Dharma BUMI juga MATAHARI

Dharma BUMI juga MATAHARI

Written By BAGUS herwindro on Jun 3, 2013 | June 03, 2013

He… he… he… selalu saja berhadapan dengan cermin buram, saat menyengaja diri mulat sariro hangrasa wani. Sebenarnya bukan cerminnya yang sudah tak cemerlang, namun bayangan diri yang terpantul itulah yang memang buram.

Banyak hal yang telah menjadi rutinitas harian akhirnya menjadi seperti mekanisme mesin, otomatis dan tanpa kesadaran yang akhirnya akan kehilangan makna di balik rutinitas yang sebenarnya mulia itu. Maka rasanya perlu sejenak untuk mengambil jeda, menyadari kembali apa yang telah dirutinkan untuk memaknai kembali agar tak kehilangan vibrasi niat yang telah dideklarasikan sejak awal mula.

Jenuh melanda, kala hati tak kunjung ditata dan tertata, akhlak tak juga mulia hingga perasaan pun tak menjadi reda geloranya, akhirnya pikiran dari banyak diri dalam diri sendiri saling menginterupsi untuk menjadi yang menguasai ucapan dan tindakan. Lepas kontrol dan selalu saja tersihir di bebrbagai situasi dan kondisi yang melingkupi. Bukan karena kuatnya sihir itu sendiri, namun lebih disebabkan oleh meneyediakan diri untuk disihir. Melepas éling lan waspädhä.

Lahir, bertumbuh-kembang, menjadi dewasa dengan beban tanggung jawab yang selalu dan pasti bertambah, meraih sesuatu yang disebut dengan prestasi bahkan hingga kategori puncak prestasi, melahirkan generasi baru, menemaninya untuk bertumbuh dan berkembang pula, dan kemudian mati. Ritme kehidupan yang selalu sama, membosankan. Pastinya banyak sekali persoalan di dalam menjalani ritme itu. Banyak hal yang tak terkendali dan tak sesuai keinginan. Apakah memang hanya untuk itu ?

-----------------

Tidaklah kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengABDI kepadaKU. Demikian yang diinformasikan Gusti Allah. Sekali lagi JLEB !!! Terpantul bayangan diri yang masih buram.

Berarti kira-kira, esensi kehidupan ini tidak lain adalah mengadi padaNYA. Segala laku manusia haruslah dalam kerangka pengabdian kepadaNYA dan tentunya awalnya ada di niat.

Sulit, berat dan rumit. He… he… he… seperti biasanya, kalimat tersebut khusus untuk diri saya sendiri, sebab saya yakin Panjenegan tidak. [tidak berbeda, maksudnya :D]

Para sesepuh dan pinisepuh dulu mengajarkan pengabdian melalui sebuah kalimat sederhana, yaitu : sepi ing pamrih, ramé  ing gawé [sepi / sedikit dari keinginan, namun banyak dalam kerja / aksi nyata / amal sholih]. Pamrih atau niatnya cuma lillahi ta’ala, namun aksinya adalah keseluruhan dari kehidupan ini.

Sulit, karena kehidupan saya masih terikat putaran waktu. Berat, karena saya menyandang keAKUan. Rumit, karena pikiran selalu mendominasi jadinya kafir [kakean fikiran alias kebanyakan mikir].

Putaran waktu, maksudnya adalah bahwa kesadaran saya masih terikat pada putaran waktu lalu, sekarang dan nanti, sehingga tak lepas dari adanya sebab-akibat dan aksi-reaksi. Kalau sekarang saya begini, maka nanti akan begitu. Karena tadi dia beraksi begitu, maka reaksi saya sekarang begini. Ini berarti belum bisa lepas dari pamrih, belum mengABDI lakunya.

AKU, maksudnya adalah bahwa saya masih selalu merasa memiliki seluruh apa yang sejatinya hanya dipinjami, hanya titipan dan hanya amanah dari Gusti Allah. AKUku selalu mau menang sendiri, tidak mau diganggu dan selalu menghendaki semua yang dikategorikan “enak”. Beribu alasan selalu tersedia untuk lapisan-lapisan keAKUan sebagai alibi pembenar diri. Berarti selalu ada pamrih besar untuk memuaskan AKU yang nyatanya tak penah kunjung puas, belum juga mengABDI lakunya. Maka sebenarnya kalau orang kaya lebih sulit dan lama masuk surga, itu bukan karena hartanya melimpah sehingga auditnya lama, namun biasanya karena AKUnya yang melekat pada hartanya itu. Merasa memiliki, hingga sangat berat untuk berbagi, merasa memiliki ilmunya, merasa memiliki kerja kerasnya, merasa memiliki prestasinya dan seterusnya hingga berat untuk berbagi.Semua dilakukan hanya demi sebuah eksistensi, bukan esensi.

Dominasi Pikiran, akan selalu memepertentangkan dua hal yang secara kasat mata berlawanan : aku-kamu, perempuan-lelaki, panas-dingin, siang-malam dan seterusnya. Pikiran akan selalu membedakan apa pun, dia tidak memeiliki kesanggupan untuk merasakan ketiadaan dan tak juga sanggup merasakan keterhubungan dan kesatuan dari semua makhluk. Selama masih selalu membeda-bedakan, maka selama itu pula selalu ada pamrih pribadi dan itu berarti juga belum mengABDI lakunya.

Contoh sederhanyanya, tak usah yang muluk-muluk, saya bekerja, masih sering lupa menata niat bekerja sebagai sarana mengabdi kepada Gusti Allah, sebab itulah yang diperintahkan / dituntut olehNya, menjemput rejekiNya untuk ditebarkan lagi kemanfaatannya dengan dinafkahkan kepada keluarga dan kalau memungkinkan berbagai pada sesama. Nyatanya, keterikatan dalam putaran waktu menjadikan bekerjanya saya saat ini karena mengharapkan imbalan di waktu yang nanti, masih selalu merasa memiliki ilmu, prestasi dan kerja keras saya dalam bekerja. Juga masih selalu membedakan pelayanan berdasarkan klasifikasi personal menurut keinginginan dan kenyamanan versi saya. Kalau si bos baik, pekerjaan pun baik, demikian sebaliknya. Juga kalau misalnya pelanggannya enak, saya pun ramah, berlaku pula sebaliknya.

Dalam hal apa pun yang seharusnya dalam kerangka pengABDIan belum bisa untuk dan hanya untuk mengABDI. Masih terlalu tebal lapisan-lapisan keAKUan yang menutupi. Maka saya titéni pula lapisan-lapisan itu akan dikelupas secara paksa olehNya melalui berbagai cara dan dalam beragam peristiwa. Yang pasti, sakitnya terkelupas selalu berbanding dengan kadar kelekatannya.

Bumi berputar pada porosnya demi perputaran itu sendiri, demi pengabdian kepada ketentuanNya tanpa memperdulikan seberapa baik atau seberapa tidak baiknya manusia yang menginjaknya. Begitu pun matahari. Dia memancarkan sinarnya demi pengabdian kepada ketentuanNya tanpa memperdulikan hal-hal lain di luar pengabdian. Itulah dharma, itulah sebenar-benarnya pengABDIan, melaksanakan semata yang dituntut, bukan yang dijanjikan.

Maka selalu saja ada manusia-manusai mulia yang telah merdeka jiwanya, yang telah menyatu rasanya dengan Gusti Allah, yang telah keluar dari dirinya sendiri, yang telah terbebas dari dualitas pikirannya sendiri dan yang telah terbebas dari keterikatan waktu. Manusia pasca dosa dan pahala, Tidak membawa hal baru, sedikit bicaranya, kalau toh berbicara itu hanyalah untuk menegaskan kembali pesan yang di bawa, pesan yang telah menyatu dan terkspresikan dalam keseharian hidupnya yang benar-benar untuk dan hanya untuk mengABDI. Hidup dan kehidupannya sepenuhnya untuk dharma, mengikuti putaran dharma. Beliau-beliau itulah yang selalu dengan kasih sayangnya mendekatkan kembali manusia-manusia lain pada rel pengABDIan, melatih berdharma dalam kehdupan, agar proses pengelupasan lapisan-lapisan keAKUan berjalan dengan halus tanpa rasa sakit yang sangat. Beliau-beliau itulah jugalah yang selalu dengan kasih sayangnya memberikan metode-metode mutakhir untuk melampaui waktu, untuk melampaui pikiran agar tak terjebak dalam bentuk-bentuk semu yang kasat mata dalam segala hal.

Semoga saya dan Panjenengan DImampuKAN Gusti Allah untuk terus menerus pada akhirnya benar-benar dapat mengABDI padaNYA dengan mengABDIkan diri, memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya dalam kehidupan ini. Aamiin.

:: Allahumma Nawwir Qulubana Bi-Nuri Hidayatika Kama Nawwartal Ardla Bi-Nuri Syamsika Abadan, Abadan, Abadan, Birohmatika Ya Arhamar Rahimina ::
Share this article :
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

IG
@bagusherwindro

Facebook
https://web.facebook.com/masden.bagus

Fanspage
https://web.facebook.com/BAGUSherwindro

Telegram
@BAGUSherwindro

TelegramChannel
@denBAGUSotre

 
Support : den BAGUS | BAGUS Otre | BAGUS Waelah
Copyright © 2013. den Bagus - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger